Selasa, 23 Mei 2017

TEORI KEBENARAN (KORESPINDENSI, KOHERENSI, PRAGMATISME DAN HUDHURI)



TEORI KEBENARAN (KORESPINDENSI, KOHERENSI, PRAGMATISME DAN HUDHURI)
A.    PENDAHULUAN
Dalam filsafat pengkajian tentang standar kebenaran amat penting karena salah satu defenisi filsafat adalah cinta pada kebenaran. Aristoteles, filosof Yunani yang termasyhur, sangat menghormati dan kagum kepada gurunya Plato. Namun, dia lebih menghargai kebenaran ketimbang Plato.
Al-Gazali adalah ilmuan Islam yang sangat serius mencari kebenaran, sampai ia mengalami keraguan yang sangat hebat, sehingga melemahkan fisiknya. Pertama kali  dia mempelajari ilmu kalam, tetapi dalil ilmu kalam tidak memuaskan dan mendatangkan kebenaran serta belum bisa mengobati keraguannya. Menurut al-Gazali, dalam ilmu kalam terdapat beberapa aliran yang bertentangan. Selanjutnya, setiap pendapat atau golongan merasa dirinya yang paling benar.
Kemudian al-Gazali mempelajari filsafat, ternyata dalam filsafat dia tidak menemukan apa yang dicari, bahkan dia melihat dalil-dalil flsafat bisa menyesatkan. Karena itu, dia mengkritik pendapat filosofis dalam buku Tahafut al-Falasifah (kerancuan para Filosof). Selanjutnya, dia mempelajari ajaran Bathiniyah, yang beranggapan bahwa kebenaran itu berasal dari iman yang maksum (bebas dari dosa). Pada awalnya, al-Gazali tertarik pada ajaraan ini, tetapi kemudian dia bertanya-tanya apa kriteria imam yang maksum itu. Bukankah nanti akan muncul orang yang mengaku-ngaku dirinya imam yang maksum dan dari sini akan muncul taklid buta kepada guru yang maksum itu? Tanya al-Gazali.
Keinginan al-Gazali adalah mencari kebenaran yang hakiki, yaitu kebenaran yang tidak diragukan lagi, seperti sepuluh lebih banyak daripada tiga. Sekiranya ada orang yang mengatakan bahwa tiga lebih banyak daripada sepuluh dengan mengatakan bahwa tongkat bisa dijadikan ular, dan hal itu memang dia lakukan. Al-Gazali kagum akan kemampuannya, tetapi sungguhpun demikian keyakinannya bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga tidak akan goyang. Kebenaran semacam inilah yang ingin dicari al-Gazali.
Akhirnya, al-Gazali sampai pada kebenaran yang demikian dalam tasawuf setelah ia mengalami proses yang amat panjang dan berbelit-belit. Tasawuflah yang menghilangkan keraguannya. Pengetahuan mistik menurutnya adalah cahaya yang diturunkan oleh Allah kedalam dirinya. Cahaya itu adalah cahaya yang menyinari diri seseorang, sehingga terbukanya tabir yang merupakan sumber segala pengetahuan.
Al-Gazali adalah gambaran dari sosok yang haus akan ilmu dan kebenaran. Kendati demikian, kebenaran yang dicapainya akhirnya bersifat subjektif dan inter-subjektif. Al-Gazali akan kesulitan menerangkan kriteria objektif dari kebenaran yang dia dapatkan. Padahal, suatu ilmu menuntut adanya kriteria yang jelas, metode yang konsisten, dan objektif. Dengan demikian, al-Gazali baru memberikan semangat pencarian kebenaran, tapi belum memberikan standar kebenaran.[1]
B.     TEORI KEBENARAN
Kebenaran merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan untuk membuktikan suatu kebenaran dari teori ataupun pengetahuan yang kita dapatkan. Namun kebenaran sendiri merupakan suatu bentuk dari rasa ingin tahu setiap individu. Rasa ingin tahu sendiri merupakan terbentuk dari adanya kekuatan akal yang dimilik manusia yang selalu ingin mencari, memahami, serta memanfaatkan kebenaran yang telah ia dapatkan dalam hidupnya. 
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memehami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan konflik kebenaran manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik psikologis. Karena didalam kehidupan manusia sesuatu yang harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya, dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya di mana selalu ditujukkan oleh kebenaran. Dimaksud disini yaitu aspek kepribadian yang menangkap kebenaran itu. Misalnya kebenaran tingkat indra, potensi subjek yang menangkapnya yaitu pancaindra. Kebenaran itu merupakan fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah manusia selalu mencari kebenaran itu, membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan kepribadiannya. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat, bahkan tingkat tersebut bersifat hierarkis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada kebenaran relative, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami da nada pula kebenaran ilahi, ada kebenaran khusus individual ada pula kebenaran universal.
Ukuran kebenaran yaitu brfikir merupakan suatu aktivitas manusia untuk menemukan kebenaran, apa yang disebut benar oleh sesorang belum tentu benar bagi orang lain, oleh karena itu diperlukan suatu ukuran atu kriteria kebenaran.
Dalam pencarian kebenaran itu terjadi berbagai perubahan gejala, peningkatan ataupun kemajuan bagi ilmu itu sendiri. Tiga teori kebenaran itu pun mendukung pelaksanaan kegatan ilmu secara konkret, yaitu sebagai penerapan antara sisi teoritis dan sisi praktis, praktik dan kegunaannya.[2]
Dalam epistimologi dan filsafat ilmu pengetahuan dikenal sejumlah teori kebenaran, yaitu: teori kebenaran koherensi, teori kebenaran korespondensi, teori kebenaran pragmatis dan teori kebenaran hudhuri. Berikut dijelaskan secara ringkas teori tersebut.[3]
C.    TEORI KEBENARAN KORESPONDENSI
Teori korespondensi kadang disebut juga the accordance theory of truth. Teori ini menjelaskan bahwa suatu kebenaran atau suatu keadaan benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju atau dimaksud oleh pernyataan atu pendapat itu. Berdasarkan teori korespondensi ini, kebenaran atau keadaan dapat dinilai dengan membandingkan antara preposisi ini dapat dikatakan memenuhi standar kebenaran. Contoh: jika seseorang mengatakan bahwa “ibukota republik Indonesia adalah Jakarta” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual yakni Jakarta yang memang menjadi ibukota Republik Indonesia. Sekiranya orang lain yang menyatakan bahwa “ibukota Republik Indonesia adalah Bandung” maka pernyataan itu tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang dengan pernyataan tersebut. Dalam hal ini maka secara faktual “ibukota Republik Indonesia adalah bukan Bandung melainkan Jakarta”[4]
Teori ini sering dianut oleh realisme atau empirisme, seperti pada ilmu-ilmu alam atau atau ilmu sosial budaya yang menuntut penerapan metode ilmu alam pada ilmu sosial-budaya. Kaum positivisme ini menganggap bahwa teori menggambarkan realitas apa adanya (copy theory, mirror theory). Karena itu, verifikasi dijadikan sebagai kriteria untuk keilmiahan.[5]
K. Roger ialah seorang penganut realisme kritis Amerika, dengan pendapatnya. Keadaan benar ini terletak dalam kesesuaian antara esensi atau arti yang kita berikan dengan esensi yang terdapat dalam objeknya. Rumusan teori ini bermula dari Aristoteles (384-322) dan disebut sebagai penggambaran yang definisinya berbunyi “veritsest adaequation intelctuset,” yang artinya kebenaran adalah penyesuian antara pikiran dan kenyataan, yang kemudian teori ini dikembangkan oleh Bertrand Russel (1872-1970) pada zaman modern.[6]
D.    TEORI KEBENARAN KOHERENSI
Teori ini sering disebut the consistense theory of truth. Berdarsarkan teori ini, suatu pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Teori ini merupakan suatu usaha pengujian (tes) atas arti kebenaran. Suatu keputusan benar putusan itu konsisten dengan putusan yang lebih dahulu kita terima, dan kita ketahui kebenarannya. Putusan yang benar yaitu suatu putusan yang saling berhubungan secara logis dengan putusanlinnya yang relevan.
Jadi suatu proposisi itu cenderung untuk benar jika proposisi itu coherent (saling berhubungan) dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika arti yang dikandung oleh proposisi coherent dengan pengalaman kita. Kepastian mengenai kebenaran sekurang-kurangnya memiliki empat pengertian, dimana suatu pengertian tidak dapat diragukan kebenarannya, sehngga disebut pengetahuan. Pertama, pengertian yang bersifat psikologis. Kedua, pengertian yang bersifat logis. Ketiga, menyamakan kepastian dengan kepastian yang tidak dapat dikoreksi. Keempat, pengertian akan kepastian yang digunakan dalam pembicaraan umum, di mana hal itu diartikan sebagai kepastian yang didasarkan pada nalar yang tidak dapat diragukan  atu dianggap salah.
Jadi menurut teori ini, putusan yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan satu sama lain. Karenanya lahirlah rumusan: truth is a systematic coherence kebenaran adalah saling hubungan yang sistematis; truth is consistency kebenaran adalah konsistensi dan kecocokan.[7]
Contoh: bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si Polan adalah seorang manusia dan si Polan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.[8] Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah, yaitu yang sering dilakukan dalam suatu penelitian dalam pengukuran suatu pendidikan. Teori koherensi ini tdak bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua sifat ini lebih bersifat melengkapi. Teori koherensi yaitu pendalaman dan kelanjutan yang teliti dari teori korespondensi. Teori koherensi menganggap suatu pernyataan benar bila didalamnya tidak ada pertentangan, bersifat koheren dan konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian, suatu pernyataan dianggap benar jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya.
Paham koheren tentang kebenaran biasanya dianut oleh para pendukung idealisme, seperti filsuf Britania F.H. Bradley (1846-1924). Teori ini sudah ada sejak pra-socrates, kemudian dikembangkan oleh Benedictus Spinoza dan Goerge Hegel. Penganut idealisme juga melakukan pendekatan masalah itu melalui epistemologinya. Karena praktik sesungguhnya yang kita kerjakan tidak hanya menunjukkan bahwa ukuran kebenaran yaitu keadaan saling berhubungan, tetapi juga jawaban terhadap pertanyaan “apakah halnya yang kita ketahui?” hal ini memaksa kita untuk menerima paham tentang kebenaran.[9]
Kelemahan teori ini adalah bahwa orang dapat saja membangun suatu teori/ sistem yang koheren (konsisten), akan tetapi sebenarnya salah karena tidak didukung oleh fakta. Jadi, teori ini tidak membedakan antara teori yang “konsisten-salah” dengaan teori yang “konsisten-benar”.[10]
E.     TEORI KEBENARAN PRAGMATIK
Menurut William james, pragmatic berasal dari bahasa yunani “pragma,” yang berarti tindakan atau action. Dari istilah practice dan practical dikembangkan dalam bahasa inggris. Teori ini kadang-kadang disebut teori inherensi (inherent theory of truth). Pandangannya yaitu suatu proposisi  bernilai benar apabila mempunyai konsekuensi yang dapat digunakan atau bermanfaat.
Contoh: sekiranya orang yang menyatakan sebuah teori X  dalam pendidikan, dan dengan teori X tersebut dikembangkan teknik Y dalam meningkatkan kemampuan belajar, maka teori X itu dianggap benar, sebab teori X ini adalah fungsional dan mempunyai kegunaan.[11]
Pragmatisme menguji kebenaran dalam praktik yang dikenal para pendidik sebagai metode proyek atau metode problem solving dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar hanya jikamereka berguna mampu memcahkan masalah yang ada. Artinya, sesuatu itu benar jika mengembalikan pribadi manusia dalam keseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme yaitu agar manusa selalu ada dalam kesimbangan, untuk tu manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengn tuntutan lingkungan.kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenaran dengan kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability), dan akibat yang memuaskan (satisfactory consequence). Oleh karena itu, tidak ada kebenaran yang mutlak atau tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibat. Akibat  atau hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis antra lain: Pertama, sesuai dengan keinginan dan tujuan. Kedua, sesuai dengan keterujian suatu eksperimen. Ketiga, ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis.
Teori in diperkenalkan oleh Charles S. Pierce (1914-1939) dalam tulisannya yang berjudul how to make our ideas untuk pertama kalinya dan diikuti oleh William James dan John Dewey (1852-1859). James menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada konsekuensi, pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsekuensi tidaklah terletak di dalam ide tu sendiri, tetapi dlam hubungan ide dengan konsekuensinya setelah dilakukan. Teori Dewey buknlah menerti objek secara langsung (teori korespondensi) atau cara tdak langsung melalui kesan-kesan dari realitas (teori konsistensi), melainkan mengetahui segalanya melalui praktik dalam problem solving. [12]     
F.     TEORI KEBENARAN HUDHURI
                               Pendiri Mazhab Pencerah (isyraq) Suhrawardi mendasarkan epistimologinya pada pembedaan antara pengetahuan melalui konsep atau konseptualisasi (ilmu hushuli) dan pengetahuan melalui kehadiran (ilmu hudhuri). Mehdi Ha’ri Yazdi, profesor Filsafat di Universitas Teheran, mengawali juga dengan pembedaan seperti ini, dengan memperluas makna ilmu hudhuri dan konsekuensi-konsekuensinya bagi epistimologi, kosmologi, teodesi dan mistisme. Ia melakukan pembedaan antara pengetahuan yang didasarkan pada konsep di dalam pikiran mengenai sesuatu yang sebenarnya tak hadir dalam pikiran, dengan konsep pengetahuan yang didasarkan pada sesuatu yang hadir dengan sendirinya dalam pikiran dan yang eksistensinya tak terpisahkan dari pengetahuan tentangnya.[13]
                        Mehdi Ha’iri Yazdi menambahkan bahwa ukuran kebenaran itu tidak hanya koherensi, korespondensi dan pragmatisme, tetapi ada tambahannya, yaitu ilmu hudhuri/ iluminasi. Ilmu hudhuri, demikian Yazdi, adalah pengetahuan dengan kehadiran karena ia ditandai oleh keadaan noetic dan memiliki objek imanen yang menjadikannya pengetahuaan swaobjek. Ilmu hudhuru ini berbeda dengan korespondensi karena kalau dalam korespondensi membutuhkan onjek di luar diri, sereti meja dan kursi. Adapun, ilmu hudhuri tidak memiliki objek diluar dirinya, tetapi objek itu sendiri ada adalah objek subjektif yang ada pada dirinya.
                        Pengetahuan dengan kehadiran ini, menuruh Ha’iri Yazdi, adalah jenis pengetahuan yang semua hubungannya berada dalam kerangka dirinya sendiri, sehingga seluruh anatomi gagasan tersebut bisa dipandang benar tanpa membutuhkan hubungan eksterior. Artinya, hubungan mengetahui, dalam bentuk pengetahuan tersebut adalah hubungan swaobjek tanpa campur tangan koneksi dengan objek eksternal.
                        Pengetahuan dengan kehadiran, demikian Ha’iri Yazdi, harus mengembalikan kepada subjek yang mengetahui. Jika seseorang benar-benar ingin mengetahui suatu objek eskternal dalam penilaian diri, maka terlebih dahulu dia harus mengetahui realitasnya sendiri. Pengetahuan tentang realitas dirinya ini seperti “akal aktif”, yaitu agar hadir dalam dirinya objek eksternal, sehingga ia dapat mengetahui objek itu melalui korespondensi.[14]
                        Hubungan pengetahuan dengan kehadiran dan pengetahuan dengan korespondensi harus dipandang sebagai hubungan sebab akibat dalam peengertian pencerahan dan emansi. Hubungan jenis ini tidak lebih daripada hubungan sebab-akibat efisien yang khas. Tetapi, untuk membedakan kausasi intelektual dari kausasi fisik, filsafat iluminasi menyebutnya dengan relasi iluminatif.
Para sufi pada umumnya mengakui dan bahkan mempertegas keberadaan konsep iluminatif ini. Oleh sebagian sufi, iluminasi itu adalah pengetahuan diri tentang diri yang berasal dari penyinaran dan anugerah Tuhan. Pengetahuan tersebut digambarkan dengan berbagai ungkapan dan keadaan. Ada yang menyebutkannya dengan terbukanya hijab antara dirinya dengan Tuhan, sehingga pengetahuan dan rahasianya dapat diketahui. Ada yang mengungkapkan dengan rasa cinta yang sangat dalam sehingga antara dia dengan Tuhan tidak ada rahasia lagi. Pengetahuan Tuhan adalah pengetahuannya. Dan ada juga yang menyebutkan dengan kesatuan kesadaran (ittihad/ hulul). Dalam kesatuan tersebut antara sufi dengan Tuhan tidak ada bedanya, termasuk pengetahuannya.
Bagi Ha’idi Yazdi, pengetahuan para sufi itu diperkuat dengan meletakkan landasan yang lebih rasional dan argumen filosofis. Menurutnya, pengetahuan para sufi tersebut adalah bagian dari pengetahuan swaobjek, yang merupakan dasar atau prasyarat sebelum mengetahui objek eksternal.[15]
G.    KESIMPULAN
Kebenaran epistimologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pegetahuan manusia. Teori yang menjelaskan kebenaran epistimologis adalah:
1.      Teori korespindensi adalah suatu proposisi bernilai benar apabila saling  berkesesuaian dengan dunia kenyataan
2.      Teori koherensi adalah adalah suatu proposisi benar apabila berhubungan dengan ide-ide dari proposisi yang ada atau benar[16]
3.      Teori Pragmatik adalah suatu proposisi  bernilai benar apabila mempunyai konsekuensi yang dapat digunakan atau bermanfaat.
4.      Ilmu hudhuri, adalah pengetahuan dengan kehadiran karena ia ditandai oleh keadaan noetic dan memiliki objek imanen yang menjadikannya pengetahuaan swaobjek



















DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal. 1997. Filsafat Agama 1. Jakarta: LOLOS Wacana Ilmu
______. 2011. Filsafat Agama Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Jujun S. Suriasumantri. 2000. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Latif, Mukhtar. 2014. Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu. Jakarta: Prenadamedia Group
Lubis, Akhyar Yusuf. 2014. Filsafat Ilmu Klasik hingga Kontemporer. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Surajiyo. 2014. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara
http://hamzah-harun.blogspot.co.id
http://yolmartohidayat-asmarnita.blogspot.co.id




[1] Amsal Bakhtiar. 1997. Filsafat Agama 1. Jakarta: LOGOS Wacana Ilmu. Hal 27-29
[2] Mukhtar  Lathif. 2014. Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu. Jakarta: Prenadamedia Group. Hal 100-102.
[3] Akhyar Yusuf Lubis.2014. Filsafat Ilmu Klasik hingga Kontemporer.  Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Hal 51
[4] Jujun S. Suriasumantri. 2000. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer...,  hal 57
[5] Akhyar Yusuf Lubis.2014. Filsafat Ilmu Klasik hingga Kontemporer..., hal 52
[6] Akhyar Yusuf Lubis.2014. Filsafat Ilmu Klasik hingga Kontemporer...,  hal. 103-104
[7] Amsal Bakhtiar (2011). Filsafat Ilmu. Jakarta Utara: PT. RajagrafindoPersada. Hal 116
[8] Jujun S. Suriasumantri. 2000. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hal. 55-56
[9] Mukhtar  Lathif. 2014. Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu..., hal 103
[10] Akhyar Yusuf Lubis (2014). Filsafat Ilmu Klasik hingga Kontemporer.  Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Hal 53
[11] Jujun S. Suriasumantri. 2000. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer...,  hal 59
[12] Mukhtar  Lathif. 2014. Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu..., hal 104-105
[14] Amsal Bakhtiar (1997). Filsafat Agama 1. Jakarta: LOGOS Wacana Ilmu. Hal 35-36
[15] Amsal Bakhtiar. 1997. Filsafat Agama 1..., hal 35-37
[16] Surajiyo. 2014. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara. Hal 58

Tidak ada komentar:

Posting Komentar