TEORI KEBENARAN (KORESPINDENSI,
KOHERENSI, PRAGMATISME DAN HUDHURI)
A.
PENDAHULUAN
Dalam filsafat
pengkajian tentang standar kebenaran amat penting karena salah satu defenisi
filsafat adalah cinta pada kebenaran. Aristoteles, filosof Yunani yang
termasyhur, sangat menghormati dan kagum kepada gurunya Plato. Namun, dia lebih
menghargai kebenaran ketimbang Plato.
Al-Gazali
adalah ilmuan Islam yang sangat serius mencari kebenaran, sampai ia mengalami
keraguan yang sangat hebat, sehingga melemahkan fisiknya. Pertama kali dia mempelajari ilmu kalam, tetapi dalil ilmu
kalam tidak memuaskan dan mendatangkan kebenaran serta belum bisa mengobati
keraguannya. Menurut al-Gazali, dalam ilmu kalam terdapat beberapa aliran yang
bertentangan. Selanjutnya, setiap pendapat atau golongan merasa dirinya yang
paling benar.
Kemudian
al-Gazali mempelajari filsafat, ternyata dalam filsafat dia tidak menemukan apa
yang dicari, bahkan dia melihat dalil-dalil flsafat bisa menyesatkan. Karena
itu, dia mengkritik pendapat filosofis dalam buku Tahafut al-Falasifah (kerancuan para Filosof). Selanjutnya, dia
mempelajari ajaran Bathiniyah, yang beranggapan bahwa kebenaran itu berasal
dari iman yang maksum (bebas dari dosa). Pada awalnya, al-Gazali tertarik pada
ajaraan ini, tetapi kemudian dia bertanya-tanya apa kriteria imam yang maksum
itu. Bukankah nanti akan muncul orang yang mengaku-ngaku dirinya imam yang maksum
dan dari sini akan muncul taklid buta kepada guru yang maksum itu? Tanya
al-Gazali.
Keinginan
al-Gazali adalah mencari kebenaran yang hakiki, yaitu kebenaran yang tidak
diragukan lagi, seperti sepuluh lebih banyak daripada tiga. Sekiranya ada orang
yang mengatakan bahwa tiga lebih banyak daripada sepuluh dengan mengatakan
bahwa tongkat bisa dijadikan ular, dan hal itu memang dia lakukan. Al-Gazali
kagum akan kemampuannya, tetapi sungguhpun demikian keyakinannya bahwa sepuluh
lebih banyak dari tiga tidak akan goyang. Kebenaran semacam inilah yang ingin
dicari al-Gazali.
Akhirnya,
al-Gazali sampai pada kebenaran yang demikian dalam tasawuf setelah ia
mengalami proses yang amat panjang dan berbelit-belit. Tasawuflah yang
menghilangkan keraguannya. Pengetahuan mistik menurutnya adalah cahaya yang
diturunkan oleh Allah kedalam dirinya. Cahaya itu adalah cahaya yang menyinari
diri seseorang, sehingga terbukanya tabir yang merupakan sumber segala
pengetahuan.
Al-Gazali
adalah gambaran dari sosok yang haus akan ilmu dan kebenaran. Kendati demikian,
kebenaran yang dicapainya akhirnya bersifat subjektif dan inter-subjektif.
Al-Gazali akan kesulitan menerangkan kriteria objektif dari kebenaran yang dia
dapatkan. Padahal, suatu ilmu menuntut adanya kriteria yang jelas, metode yang
konsisten, dan objektif. Dengan demikian, al-Gazali baru memberikan semangat
pencarian kebenaran, tapi belum memberikan standar kebenaran.[1]
B.
TEORI KEBENARAN
Kebenaran merupakan suatu hal yang
mutlak diperlukan untuk membuktikan suatu kebenaran dari teori ataupun
pengetahuan yang kita dapatkan. Namun kebenaran sendiri merupakan suatu bentuk
dari rasa ingin
tahu setiap individu. Rasa ingin tahu sendiri merupakan terbentuk dari adanya
kekuatan akal yang dimilik manusia yang selalu ingin mencari, memahami, serta memanfaatkan
kebenaran yang telah ia dapatkan dalam hidupnya.
Manusia selalu mencari kebenaran, jika
manusia mengerti dan memehami
kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu.
Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan
konflik kebenaran manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik
psikologis. Karena didalam kehidupan manusia sesuatu yang harus diiringi akan
kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya, dan manusia juga tidak akan bosan
untuk mencari kenyataan dalam hidupnya di mana selalu ditujukkan oleh
kebenaran. Dimaksud disini yaitu aspek kepribadian yang menangkap kebenaran
itu. Misalnya kebenaran tingkat indra, potensi subjek yang menangkapnya yaitu
pancaindra. Kebenaran itu merupakan fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah manusia
selalu mencari kebenaran itu, membina dan menyempurnakannya sejalan dengan
kematangan kepribadiannya. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat,
bahkan tingkat tersebut bersifat hierarkis. Kebenaran yang satu di bawah
kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada kebenaran relative, ada kebenaran
mutlak (absolut). Ada kebenaran alami da nada pula kebenaran ilahi, ada
kebenaran khusus individual ada pula kebenaran universal.
Ukuran kebenaran yaitu brfikir merupakan
suatu aktivitas manusia untuk menemukan kebenaran, apa yang disebut benar oleh
sesorang belum tentu benar bagi orang lain, oleh karena itu diperlukan suatu
ukuran atu kriteria kebenaran.
Dalam pencarian kebenaran itu terjadi
berbagai perubahan gejala, peningkatan ataupun kemajuan bagi ilmu itu sendiri.
Tiga teori kebenaran itu pun mendukung pelaksanaan kegatan ilmu secara konkret, yaitu
sebagai penerapan antara sisi teoritis
dan sisi praktis, praktik dan kegunaannya.[2]
Dalam epistimologi dan filsafat
ilmu pengetahuan dikenal sejumlah teori kebenaran, yaitu: teori kebenaran
koherensi, teori kebenaran korespondensi, teori kebenaran pragmatis dan teori
kebenaran hudhuri. Berikut dijelaskan secara ringkas teori tersebut.[3]
C.
TEORI KEBENARAN KORESPONDENSI
Teori korespondensi kadang disebut juga the accordance theory of truth. Teori ini
menjelaskan bahwa suatu kebenaran atau suatu keadaan benar bila ada kesesuaian
antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang
dituju atau dimaksud oleh pernyataan atu pendapat itu. Berdasarkan teori
korespondensi ini, kebenaran atau keadaan dapat dinilai dengan membandingkan
antara preposisi ini dapat dikatakan memenuhi standar kebenaran. Contoh: jika seseorang mengatakan bahwa “ibukota republik
Indonesia adalah Jakarta” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu
dengan obyek yang bersifat faktual yakni Jakarta yang memang menjadi ibukota
Republik Indonesia. Sekiranya orang lain yang menyatakan bahwa “ibukota
Republik Indonesia adalah Bandung” maka pernyataan itu tidak benar sebab tidak
terdapat obyek yang dengan pernyataan tersebut. Dalam hal ini maka secara
faktual “ibukota Republik Indonesia adalah bukan Bandung melainkan Jakarta”[4]
Teori ini sering dianut oleh realisme atau empirisme, seperti pada ilmu-ilmu alam atau atau ilmu sosial
budaya yang menuntut penerapan metode ilmu alam pada ilmu sosial-budaya. Kaum
positivisme ini menganggap bahwa teori menggambarkan realitas apa adanya (copy theory, mirror theory). Karena itu,
verifikasi dijadikan sebagai kriteria untuk keilmiahan.[5]
K. Roger
ialah seorang penganut realisme
kritis Amerika, dengan pendapatnya. Keadaan benar
ini terletak dalam kesesuaian antara esensi atau arti yang kita berikan dengan
esensi yang terdapat dalam objeknya.
Rumusan teori ini bermula
dari Aristoteles (384-322)
dan disebut sebagai penggambaran yang definisinya berbunyi “veritsest adaequation intelctuset,” yang
artinya kebenaran adalah
penyesuian antara pikiran dan kenyataan,
yang kemudian teori ini dikembangkan oleh Bertrand Russel (1872-1970) pada
zaman modern.[6]
D.
TEORI KEBENARAN KOHERENSI
Teori ini sering disebut the consistense theory of truth.
Berdarsarkan teori ini, suatu pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten
dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Teori ini merupakan suatu
usaha pengujian (tes) atas arti kebenaran. Suatu keputusan benar putusan itu
konsisten dengan putusan yang lebih dahulu kita terima, dan kita ketahui
kebenarannya. Putusan yang benar yaitu suatu putusan yang saling berhubungan
secara logis dengan putusanlinnya yang relevan.
Jadi suatu proposisi itu cenderung untuk
benar jika proposisi itu coherent (saling berhubungan) dengan
proposisi-proposisi lain
yang benar, atau jika arti yang dikandung oleh proposisi coherent dengan
pengalaman kita. Kepastian mengenai kebenaran sekurang-kurangnya memiliki empat
pengertian, dimana suatu pengertian tidak dapat diragukan kebenarannya, sehngga
disebut pengetahuan. Pertama, pengertian yang bersifat psikologis. Kedua,
pengertian yang bersifat logis. Ketiga, menyamakan kepastian dengan kepastian
yang tidak dapat dikoreksi. Keempat, pengertian akan kepastian yang digunakan
dalam pembicaraan umum, di mana hal itu diartikan sebagai kepastian yang
didasarkan pada nalar yang tidak dapat diragukan atu dianggap salah.
Jadi menurut teori ini, putusan yang satu dengan yang
lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan satu sama lain. Karenanya
lahirlah rumusan: “truth is a systematic
coherence” kebenaran adalah saling
hubungan yang sistematis; “truth is consistency”
kebenaran adalah konsistensi dan kecocokan.[7]
Contoh: bila
kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan
yang benar, maka pernyataan bahwa “si Polan adalah seorang manusia dan si Polan
pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten
dengan pernyataan yang pertama.[8]
Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah, yaitu yang sering
dilakukan dalam suatu penelitian dalam pengukuran suatu pendidikan. Teori
koherensi ini tdak bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua sifat ini
lebih bersifat melengkapi. Teori koherensi yaitu pendalaman dan kelanjutan yang
teliti dari teori korespondensi. Teori koherensi menganggap suatu pernyataan
benar bila didalamnya tidak ada pertentangan, bersifat koheren dan konsisten
dengan pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian, suatu
pernyataan dianggap benar jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan
yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya.
Paham koheren tentang kebenaran biasanya
dianut oleh para pendukung idealisme,
seperti filsuf Britania F.H. Bradley (1846-1924). Teori ini sudah ada sejak
pra-socrates, kemudian dikembangkan oleh Benedictus Spinoza dan Goerge Hegel.
Penganut idealisme
juga melakukan pendekatan masalah itu
melalui epistemologinya. Karena praktik sesungguhnya yang kita kerjakan tidak
hanya menunjukkan bahwa ukuran kebenaran yaitu keadaan saling berhubungan,
tetapi juga jawaban terhadap pertanyaan “apakah halnya yang kita ketahui?” hal ini memaksa kita untuk
menerima paham tentang kebenaran.[9]
Kelemahan teori ini adalah
bahwa orang dapat saja membangun suatu teori/ sistem yang koheren (konsisten),
akan tetapi sebenarnya salah karena tidak didukung oleh fakta. Jadi, teori ini
tidak membedakan antara teori yang “konsisten-salah” dengaan teori yang
“konsisten-benar”.[10]
E.
TEORI KEBENARAN PRAGMATIK
Menurut William james, pragmatic berasal
dari bahasa yunani “pragma,” yang berarti tindakan atau action. Dari istilah
practice dan practical dikembangkan dalam bahasa inggris. Teori ini
kadang-kadang disebut teori inherensi (inherent
theory of truth). Pandangannya yaitu suatu proposisi bernilai benar apabila mempunyai konsekuensi
yang dapat digunakan atau bermanfaat.
Contoh: sekiranya
orang yang menyatakan sebuah teori X
dalam pendidikan, dan dengan teori X tersebut dikembangkan teknik Y
dalam meningkatkan kemampuan belajar, maka teori X itu dianggap benar, sebab
teori X ini adalah fungsional dan mempunyai kegunaan.[11]
Pragmatisme menguji kebenaran dalam
praktik yang dikenal para pendidik sebagai metode proyek atau metode problem solving dalam pengajaran. Mereka
akan benar-benar hanya jikamereka berguna mampu memcahkan masalah yang ada.
Artinya, sesuatu itu benar jika mengembalikan pribadi manusia dalam
keseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme yaitu agar manusa
selalu ada dalam kesimbangan, untuk tu manusia harus mampu melakukan
penyesuaian dengn tuntutan lingkungan.kaum pragmatis menggunakan kriteria
kebenaran dengan kegunaan (utility),
dapat dikerjakan (workability),
dan akibat yang memuaskan (satisfactory
consequence). Oleh karena itu, tidak ada kebenaran yang mutlak atau tetap,
kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibat. Akibat atau hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis
antra lain: Pertama, sesuai dengan
keinginan dan tujuan. Kedua, sesuai
dengan keterujian suatu eksperimen. Ketiga, ikut membantu dan mendorong
perjuangan untuk tetap eksis.
Teori in diperkenalkan oleh Charles S.
Pierce (1914-1939) dalam tulisannya yang berjudul how to make our ideas untuk pertama kalinya dan diikuti oleh
William James dan John Dewey (1852-1859). James
menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada konsekuensi, pada hasil
tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsekuensi tidaklah terletak di dalam ide
tu sendiri, tetapi dlam hubungan ide dengan konsekuensinya setelah dilakukan.
Teori Dewey buknlah menerti objek secara langsung (teori korespondensi) atau
cara tdak langsung melalui kesan-kesan dari realitas (teori konsistensi),
melainkan mengetahui segalanya melalui praktik dalam problem solving. [12]
F.
TEORI KEBENARAN HUDHURI
Pendiri
Mazhab Pencerah (isyraq) Suhrawardi
mendasarkan epistimologinya pada pembedaan antara pengetahuan melalui konsep
atau konseptualisasi (ilmu hushuli)
dan pengetahuan melalui kehadiran (ilmu hudhuri).
Mehdi Ha’ri Yazdi, profesor Filsafat di Universitas Teheran, mengawali juga
dengan pembedaan seperti ini, dengan memperluas makna ilmu hudhuri dan konsekuensi-konsekuensinya bagi epistimologi,
kosmologi, teodesi dan mistisme. Ia melakukan pembedaan antara pengetahuan yang
didasarkan pada konsep di dalam pikiran mengenai sesuatu yang sebenarnya tak
hadir dalam pikiran, dengan konsep pengetahuan yang didasarkan pada sesuatu
yang hadir dengan sendirinya dalam pikiran dan yang eksistensinya tak terpisahkan
dari pengetahuan tentangnya.[13]
Mehdi
Ha’iri Yazdi menambahkan bahwa ukuran kebenaran itu tidak hanya koherensi,
korespondensi dan pragmatisme, tetapi ada tambahannya, yaitu ilmu hudhuri/
iluminasi. Ilmu hudhuri, demikian Yazdi, adalah pengetahuan dengan kehadiran
karena ia ditandai oleh keadaan noetic
dan memiliki objek imanen yang menjadikannya pengetahuaan swaobjek. Ilmu
hudhuru ini berbeda dengan korespondensi karena kalau dalam korespondensi
membutuhkan onjek di luar diri, sereti meja dan kursi. Adapun, ilmu hudhuri
tidak memiliki objek diluar dirinya, tetapi objek itu sendiri ada adalah objek
subjektif yang ada pada dirinya.
Pengetahuan dengan
kehadiran ini, menuruh Ha’iri Yazdi, adalah jenis pengetahuan yang semua
hubungannya berada dalam kerangka dirinya sendiri, sehingga seluruh anatomi
gagasan tersebut bisa dipandang benar tanpa membutuhkan hubungan eksterior.
Artinya, hubungan mengetahui, dalam bentuk pengetahuan tersebut adalah hubungan
swaobjek tanpa campur tangan koneksi dengan objek eksternal.
Pengetahuan dengan
kehadiran, demikian Ha’iri Yazdi, harus mengembalikan kepada subjek yang
mengetahui. Jika seseorang benar-benar ingin mengetahui suatu objek eskternal
dalam penilaian diri, maka terlebih dahulu dia harus mengetahui realitasnya sendiri.
Pengetahuan tentang realitas dirinya ini seperti “akal aktif”, yaitu agar hadir
dalam dirinya objek eksternal, sehingga ia dapat mengetahui objek itu melalui
korespondensi.[14]
Hubungan pengetahuan
dengan kehadiran dan pengetahuan dengan korespondensi harus dipandang sebagai
hubungan sebab akibat dalam peengertian pencerahan dan emansi. Hubungan jenis
ini tidak lebih daripada hubungan sebab-akibat efisien yang khas. Tetapi, untuk
membedakan kausasi intelektual dari kausasi fisik, filsafat iluminasi menyebutnya
dengan relasi iluminatif.
Para sufi pada umumnya mengakui dan
bahkan mempertegas keberadaan konsep iluminatif ini. Oleh sebagian sufi,
iluminasi itu adalah pengetahuan diri tentang diri yang berasal dari penyinaran
dan anugerah Tuhan. Pengetahuan tersebut digambarkan dengan berbagai ungkapan
dan keadaan. Ada yang menyebutkannya dengan terbukanya hijab antara dirinya
dengan Tuhan, sehingga pengetahuan dan rahasianya dapat diketahui. Ada yang
mengungkapkan dengan rasa cinta yang sangat dalam sehingga antara dia dengan
Tuhan tidak ada rahasia lagi. Pengetahuan Tuhan adalah pengetahuannya. Dan ada
juga yang menyebutkan dengan kesatuan kesadaran (ittihad/ hulul). Dalam kesatuan tersebut antara sufi dengan Tuhan
tidak ada bedanya, termasuk pengetahuannya.
Bagi Ha’idi Yazdi, pengetahuan para sufi
itu diperkuat dengan meletakkan landasan yang lebih rasional dan argumen
filosofis. Menurutnya, pengetahuan para sufi tersebut adalah bagian dari
pengetahuan swaobjek, yang merupakan dasar atau prasyarat sebelum mengetahui
objek eksternal.[15]
G.
KESIMPULAN
Kebenaran epistimologis adalah kebenaran
yang berhubungan dengan pegetahuan manusia. Teori yang menjelaskan kebenaran
epistimologis adalah:
1. Teori korespindensi adalah suatu proposisi bernilai benar
apabila saling berkesesuaian dengan
dunia kenyataan
2. Teori koherensi adalah adalah suatu proposisi benar
apabila berhubungan dengan ide-ide dari proposisi yang ada atau benar[16]
3.
Teori Pragmatik adalah suatu proposisi bernilai benar apabila mempunyai konsekuensi yang
dapat digunakan atau bermanfaat.
4. Ilmu hudhuri, adalah pengetahuan dengan
kehadiran karena ia ditandai oleh keadaan noetic
dan memiliki objek imanen yang menjadikannya pengetahuaan swaobjek
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal. 1997. Filsafat Agama 1. Jakarta: LOLOS Wacana
Ilmu
______. 2011. Filsafat Agama Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia. Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada
Jujun S. Suriasumantri. 2000. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Latif, Mukhtar. 2014. Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu. Jakarta:
Prenadamedia Group
Lubis, Akhyar Yusuf. 2014. Filsafat Ilmu Klasik hingga Kontemporer. Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada
Surajiyo.
2014. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta:
Bumi Aksara
http://hamzah-harun.blogspot.co.id
http://yolmartohidayat-asmarnita.blogspot.co.id
[1] Amsal Bakhtiar. 1997. Filsafat Agama 1. Jakarta: LOGOS Wacana
Ilmu. Hal 27-29
[2] Mukhtar Lathif. 2014. Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu. Jakarta: Prenadamedia
Group. Hal 100-102.
[3] Akhyar Yusuf Lubis.2014.
Filsafat Ilmu Klasik hingga Kontemporer. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Hal 51
[4]
Jujun S. Suriasumantri.
2000. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer..., hal 57
[5] Akhyar Yusuf Lubis.2014. Filsafat Ilmu Klasik hingga Kontemporer...,
hal 52
[6] Akhyar Yusuf Lubis.2014. Filsafat Ilmu Klasik hingga
Kontemporer..., hal. 103-104
[7] Amsal Bakhtiar (2011). Filsafat Ilmu. Jakarta Utara: PT.
RajagrafindoPersada. Hal 116
[8] Jujun S. Suriasumantri. 2000. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan. Hal. 55-56
[9] Mukhtar Lathif. 2014. Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu..., hal 103
[10] Akhyar Yusuf Lubis (2014). Filsafat Ilmu Klasik hingga Kontemporer. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Hal 53
[11]
Jujun S. Suriasumantri.
2000. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer..., hal 59
[12]
Mukhtar Lathif. 2014. Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu..., hal 104-105
[14] Amsal Bakhtiar (1997). Filsafat Agama 1. Jakarta: LOGOS Wacana
Ilmu. Hal 35-36
[15] Amsal Bakhtiar. 1997. Filsafat Agama 1..., hal 35-37
[16] Surajiyo. 2014. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta:
Bumi Aksara. Hal 58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar